Memilih pemimpin Non-Muslim, Bolehkah?

Memilih pemimpin Non-Muslim, Bolehkah?

Baca Juga

Pertanyaan ini menjadi trendi dalam masa-masa pemilu, baik legislatif, pilpres, maupun pilkada. Bolehkan umat Islam memilih pemimpin yang tidak beragama Islam? Berdosakah umat Islam bila dipimpin oleh seorang non-muslim? Perlukan mereka mematuhi pemimpin tersebut?

Kalau saya ditanya tentang hal tersebut di atas, adakah dalil yang tegas, gamblang, tanpa keraguan, yang bisa menjadi jawaban, maka jawab saya: tidak! Yang ada adalah tafsir-tafsir atas berbagai ayat maupun hadist. Oleh karena itu ada perbedaan pendapat tentang masalah ini. Ada yang mengharamkan, ada yang membolehkan.

Pendapat yang mengharamkan

Para ulama yang mengharamkan memilih pemimpin non-muslim (kafir) berdasarkan ayat pada surat Ali Imran 28, "Janganlah orang-orang mukmin itu mengambil orang kafir sebagai auliya' dengan meninggalkan orang-orang mukmin......" Di samping itu ada beberapa ayat lain yang senada, di antaranya An-Nisa 139.

Pada ayat di atas digunakan kata "auliya", bentuk jamak dari wali. Kata ini bisa bermakna pemimpin, pelindung, dan sekutu. Pemimpin politik menurut para ulama adalah bagian dari "auliya", sehingga tak patut bagi kaum mukmin memilihnya dari kalangan kafir.

Perlu dicatat bahwa dari aspek asbabun nuzul, ada beberapa versi mengenai konteks ayat ini. Namun dari beberapa versi itu semua mengacu pada satu hal, yaitu bahwa ada orang yang mencoba bersekutu dengan orang lain (Yahudi dan munafik) yang sudah jelas permusuhannya, dan ayat ini adalah celaan terhadap perilaku tersebut.

Pemimpin dalam pengertian politik dan pemerintahan dalam berbagai kajian lebih sering disebut sebagai ulil amri. Istilah ini muncul di surat An-Nisa 59 dan 89. Kedua ayat mengajarkan bahwa seorang ulil amri haruslah seseorang yang selalu bisa merujuk pada Allah dan rasulNya (fain tanaaza'tum fii syai'in farudduu ilallaahi wa rasuulihi), yang artinya ia haruslah orang beriman (Islam).

Tafsir atas istilah ulil amri sendiri ada banyak, mulai dari yang spesifik menunjuk kepada Abu Bakar dan Umar saja, atau kepada sahabat-sahabat rasul. Ada juga yang menafsirkannya sebagai para ulama yang fakih. Ada pula yang menafsirkan ulil amri adalah orang yang ahli dalam suatu bidaang strategis pada zamannya.

Pendapat yang membolehkan

Salah satu pendapat yang membolehkan datang dari Ibnu Taimiyah. Kutipan pendapatnya pernah disampaikan oleh alm. Nurcholis Madjid dalam pidatonya di TIM tahun 1990, yang mengundang kontroversi. Menurut Ibnu Taimiyah,..... Allah menolong negara yang adil walaupun kafir, dan tidak akan menolong negara zalim walaupun muslim."

Menurut Yusuf Qardhawi larangan memilih pemimpin dari kalangan non-muslim itu berlaku apabila mereka menunjukkan permusuhan. Jadi dasar utamanya bukan agama. Tentu sangat logis bahwa kita tidak boleh menjadikan orang yang memusuhi kita sebagai pemimpin.

Nalar

Mari kita bernalar dalam isu ini. Bayangkan bila di Indonesia ini kita sebagai orang Islam hanya membolehkan orang Islam sebagai pemimpin. Presiden, harus muslim. Menteri-menteri, pejabat-pejabati di kementerian, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, dan seterusnya, semua harus muslim. Lalu, orang non-muslim jadi apa? Sekedar jadi tukang sapu? Tentu hal tersebut tak akan terjadi, karena memang tak patut terjadi. Orang-orang non-muslim pun turut mendirikan negara ini. Mereka juga berkontribusi pada pembangunan negeri ini. Tentu tak patut kalau mereka tidak kita bolehkan ikut serta menjadi pemimpin.

Ada negara muslim yang membatasi ruang gerak non-muslim seperti Arab Saudi. Di sana tentu saja semua urusan pemerintahan dipegang oleh muslim. Jangankan ikut dalam pemerintahan, sekedar punya rumah ibadah saja non-muslim tidak boleh. Tapi, hal semacam itukah yang kita inginkan? Bagaimana bila kita orang-orang muslim diperlakukan begitu di negeri lain? Bagaimana kalau orang-orang muslim didiskriminasi di Amerika atau Eropa? Tidak boleh beribadah, dan tidak boleh ikut pemilu, atau bahkan tak boleh tinggal di sana. Tentu kita tak suka.

Kita tak suka dengan kelakuan sejumlah politikus anti-Islam di Eropa seperti Greetz Wilder itu. Lalu, kenapa kita hendak meniru kelakuan mereka, dengan berusaha menghalangi partisipasi non-muslim sebagaimana mereka menghalangi partisipasi kaum muslim? Mengapa kita mencubit orang padahal kita tak suka dicubit?

Kriteria pemimpin

Berbagai ayat yang menerangkan tentang kriteria pemimpin, di antaranya Al-Qashash 26 menyebut dua kata kunci, yaitu kuat (dan bisa pula kita maknai sebagai kompeten) dan amanah. Dua hal ini bisa kita dapatkan dari sosok seorang muslim, namun tidak tertutup pula dari kalangan non-muslim. Sejarah telah menunjukkan pada kita ada begitu banyak orang yang kompeten, adil, dan amanah yang berasal dari kalangan non-muslim.
Kondisi kini

Ayat-ayat tentang larangan memilih pemimpin non-muslim sering dikumandangkan saat pemilu, untuk mendulang suara dari pemilih muslim. Apakah pengumandangnya seorang yang kompeten dan amanah? Kalau mereka kompeten dan amanah, tentu mereka tak butuh ayat untuk mendapat suara.
Jokowi, Risma, Ridwan Kamil, dan masih banyak contoh lain, adalah orang-orang yang diakui memenuhi dua syarat pemimpin yang baik tadi. Mereka adalah orang-orang muslim. Selain itu ada Ahok yang non-muslim. Dari sisi jumlah, kita lihat bahwa jumlah pemimpin yang muslim lebih banyak. Ini natural, mewakili jumlah penduduk muslim yang memang mayoritas. Tapi dari kalangan minoritas non-muslim juga bisa muncul pemimpin seperti Ahok. Maka tentu tak patut bagi kita untuk menghalangi dia hanya karena dia non-muslim.

disarikan dari: https://www.facebook.com/notes/hasanudin-abdurakhman/pemimpin-non-muslim-
bolehkah/10152640065583614/
(Disclaimer: Penulis bukan ahli agama, bukan ahli politik, dan bukan ahli apapun. Penulis hanya ahli dalam hal yang bukan-bukan.)

Like and Share..

Related Posts

Memilih pemimpin Non-Muslim, Bolehkah?
4/ 5
Oleh