Baca Juga
Awalnya bercakap-cakap biasa dengan pasangan, akhirnya malah berujung pertengkaran. Sahabat Ummi pernah mengalami hal yang tak mengenakkan tersebut? Hati-hati, jika pertengkaran tersulut, tak jarang kata-kata buruk pun keluar dan akan sangat menyakitkan untuk diingat.
Konselor dan trainer Rumah Keluarga Indonesia (RKI) yang juga penulis buku seri Wonderful Family, Cahyadi Takariawan, S.Si, Apt,mengungkapkan bahwa 70% persoalan suami istri dipicu oleh kegagalan komunikasi.
Antisipasi Perbedaan Sejak Awal
Jika komunikasi yang sehat adalah salah satu kunci kebahagiaan rumah tangga, maka pertengkaran menjadi unsur yang paling merusak hubungan. Mengapa? Pertengkaran kerap timbul ketika pasangan sering merasakan ketidakcocokan atau tidak sekufu satu sama lain.
Apa itu sekufu? Dalam Islam, kufu adalah kesepadanan. Walau tidak termasuk dalam rukun nikah, tapi ia dipandang perlu karena bisa menumbuhkan keharmonisan pernikahan. Idealnya, masalah sekufu sudah melalui pertimbangan yang masak sejak awal menikah. Karena jika ini diabaikan, ia bisa berpotensi menghambat komunikasi pasutri di kemudian hari. Faktor kekufuan ini antara lain, perbedaan tingkat intelegensi dan pendidikan, jauhnya perbedaan usia, perbedaan latar belakang satus sosial, dan yang paling penting adalah perbedaan prinsip hidup dan beragama.
Hikmahnya, menurut Cahyadi, “Komunikasi menjadi lebih terbuka dan lancar jika pasangan sekufu. Bicara lebih nyambung, tanpa sekat, dan tanpa beban ‘kelas’.”
Kecuali perbedaan masalah agama yang tak bisa ditolerir dalam Islam, banyak pasangan yang tetap melangsungkan pernikahan walau tidak sekufu. Alasan cinta, menikah karena ibadah atau dakwah dan lainnya, kerap meneguhkan mereka memasuki jenjang pernikahan di tengah perbedaan. Namun keteguhan ini, jika tidak diiringi dengan antisipasi komitmen dan komunikasi yang sehat sejak awal, maka perlahan akan membuat pernikahan rapuh.
Memang tak ada rumah tangga yang bebas dari pertengkaran. Karenanya seiring pernikahan, kesepadanan itu tetap harus dicari, ditumbuhkan, dan ditemukan, bahkan setelah berpuluh tahun membina rumah tangga.
Bersama Hindari Badai
Kehidupan manusia yang dinamis dan zaman yang terus berubah tak ayal mengubah kehidupan seseorang. Gaya hidup, pola pikir, kepentingan, orientasi pun bisa berubah. Maka tidak heran, belasan tahun menikah baru timbul ketidakcocokan. Jika pernikahan tidak dilandasi dasar yang kokoh seperti komitmen ibadah dalam mempertahankan rumah tangga, maka perubahan-perubahan yang terjadi tadi akan menjadi badai tak berkesudahan bagi pernikahan. Bagaimana menghadapi badai dalam relasi suami istri ini?
Tuntutan ekonomi
Rumah tangga yang tak ditopang dengan nafkah yang memadai sangat mungkin goncang. Masalah ekonomi menjadi pemicu terbesar kasus perceraian di banyak daerah di Indonesia.
Menyikapinya, Cahyadi mengatakan bahwa istri berhak meminta nafkah dari suami karena nafkah memang menjadi kewajiban suami. “Namun jika suami tidak mampu mencari nafkah disebabkan udzur syar'i misal sakit parah atau kendala manusiawi seperti dipenjara, tentu istri tidak patut menuntut kepada suami,” jelas trainer dan Konselor Jogja Family Center (JFC) ini. Agar bisa melalui badai bersama, dibutuhkan sikap keterbukaan dan kebersamaan dalam mencari solusi. Misalnya dengan istri ikut bekerja atau berwirausaha, bersama menguatkan lagi ibadah kepada Allah, seraya tetap saling menghargai satu sama lain.
Ujian kesetiaan dan cemburu
Era media sosial yang memudahkan seseorang terhubung dengan sosok masa lalu juga teman-teman baru, ditambah peningkatan taraf hidup, membuat kesetiaan dan perselingkuhan menjadi ujian baru bagi rumah tangga kini. Namun tak bisa dianggap tidak setia, menurut Cahyadi, sepanjang proses yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. “Namun jika kita punya bukti bahwa pasangan selingkuh, wajib diingatkan dan ditegur dengan cara yang baik, jangan dibiarkan karena itu pelanggaran,” tegasnya.
Khusus bagi yang rentan terserang cemburu, pahami bahwa pasutri memang harus mempunyai rasa cemburu, namun mestiproporsional. Rasulullah saw pun melarang cemburu yang berlebihan. Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, cukup bagimu Shafiyyah, dia itu begini dan begitu (pendek).” Rasulullah menjawab, “Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata, yang seandainya dicampur dengan air laut, niscaya akan dapat mencemarinya.” (HR Abu Dawud).
Kehidupan seks yang tak membahagiakan
Walau banyak yang lebih penting dari aktivitas seks dalam relasi pasutri, namun mengabaikannya bisa mengurangi kasih sayang. “Seks harus bisa dinikmati bersama oleh pasangan suami istri, maka perlu keterbukaan jika ada masalah dalam hal ini,” saran Cahyadi. Karena, lanjutnya, jika hasrat seksual tidak terpenuhi, akan memicu ketegangan jiwa. Dampaknya bisa luas, lebih emosional, bersifat labil, mudah tersinggung, sulit konsentrasi, dan yang lebih membahayakan lagi, jika tergoda untuk menyalurkan hasrat secara menyimpang.
Jangan Bertengkar
Ujung dari komunikasi yang sehat adalah sedikitnya perselisihan atau pertengkaran, ini yang harus dicapai agar pernikahan sehat. Seringnya konflik bukan saja menyakiti perasaan, tapi juga memperburuk hubungan. Diskusikan masalah yang timbul dengan terbuka, tanpa bertengkar atau menyulut konflik.
Mengumbar kemarahan dengan perang terbuka bisa memadamkan cinta. Sedangkan terbiasa menekan perasaan untuk menghindari perselisihan juga tidak sehat, sebab akan membuat cinta kasih hambar karena selalu tertekan. Carilah kesimbangan di antara keduanya, kapan sesuatu harus diungkapkan dan kapan harus dilupakan, bukan dipendam. Keberhasilan pasutri mengelola ego dan emosi menjadi cara efektif untuk menjaga komunikasi sehingga rumah tangga aman dari pertengkaran.
Meutia Geumala
Wawancara: Didi Muardi
Sumber: Majalah Ummi, Bahasan Utama 3 08-XXVIII Agustus 2016
Foto ilustrasi : Google
Konselor dan trainer Rumah Keluarga Indonesia (RKI) yang juga penulis buku seri Wonderful Family, Cahyadi Takariawan, S.Si, Apt,mengungkapkan bahwa 70% persoalan suami istri dipicu oleh kegagalan komunikasi.
Antisipasi Perbedaan Sejak Awal
Jika komunikasi yang sehat adalah salah satu kunci kebahagiaan rumah tangga, maka pertengkaran menjadi unsur yang paling merusak hubungan. Mengapa? Pertengkaran kerap timbul ketika pasangan sering merasakan ketidakcocokan atau tidak sekufu satu sama lain.
Apa itu sekufu? Dalam Islam, kufu adalah kesepadanan. Walau tidak termasuk dalam rukun nikah, tapi ia dipandang perlu karena bisa menumbuhkan keharmonisan pernikahan. Idealnya, masalah sekufu sudah melalui pertimbangan yang masak sejak awal menikah. Karena jika ini diabaikan, ia bisa berpotensi menghambat komunikasi pasutri di kemudian hari. Faktor kekufuan ini antara lain, perbedaan tingkat intelegensi dan pendidikan, jauhnya perbedaan usia, perbedaan latar belakang satus sosial, dan yang paling penting adalah perbedaan prinsip hidup dan beragama.
Hikmahnya, menurut Cahyadi, “Komunikasi menjadi lebih terbuka dan lancar jika pasangan sekufu. Bicara lebih nyambung, tanpa sekat, dan tanpa beban ‘kelas’.”
Kecuali perbedaan masalah agama yang tak bisa ditolerir dalam Islam, banyak pasangan yang tetap melangsungkan pernikahan walau tidak sekufu. Alasan cinta, menikah karena ibadah atau dakwah dan lainnya, kerap meneguhkan mereka memasuki jenjang pernikahan di tengah perbedaan. Namun keteguhan ini, jika tidak diiringi dengan antisipasi komitmen dan komunikasi yang sehat sejak awal, maka perlahan akan membuat pernikahan rapuh.
Memang tak ada rumah tangga yang bebas dari pertengkaran. Karenanya seiring pernikahan, kesepadanan itu tetap harus dicari, ditumbuhkan, dan ditemukan, bahkan setelah berpuluh tahun membina rumah tangga.
Bersama Hindari Badai
Kehidupan manusia yang dinamis dan zaman yang terus berubah tak ayal mengubah kehidupan seseorang. Gaya hidup, pola pikir, kepentingan, orientasi pun bisa berubah. Maka tidak heran, belasan tahun menikah baru timbul ketidakcocokan. Jika pernikahan tidak dilandasi dasar yang kokoh seperti komitmen ibadah dalam mempertahankan rumah tangga, maka perubahan-perubahan yang terjadi tadi akan menjadi badai tak berkesudahan bagi pernikahan. Bagaimana menghadapi badai dalam relasi suami istri ini?
Tuntutan ekonomi
Rumah tangga yang tak ditopang dengan nafkah yang memadai sangat mungkin goncang. Masalah ekonomi menjadi pemicu terbesar kasus perceraian di banyak daerah di Indonesia.
Menyikapinya, Cahyadi mengatakan bahwa istri berhak meminta nafkah dari suami karena nafkah memang menjadi kewajiban suami. “Namun jika suami tidak mampu mencari nafkah disebabkan udzur syar'i misal sakit parah atau kendala manusiawi seperti dipenjara, tentu istri tidak patut menuntut kepada suami,” jelas trainer dan Konselor Jogja Family Center (JFC) ini. Agar bisa melalui badai bersama, dibutuhkan sikap keterbukaan dan kebersamaan dalam mencari solusi. Misalnya dengan istri ikut bekerja atau berwirausaha, bersama menguatkan lagi ibadah kepada Allah, seraya tetap saling menghargai satu sama lain.
Ujian kesetiaan dan cemburu
Era media sosial yang memudahkan seseorang terhubung dengan sosok masa lalu juga teman-teman baru, ditambah peningkatan taraf hidup, membuat kesetiaan dan perselingkuhan menjadi ujian baru bagi rumah tangga kini. Namun tak bisa dianggap tidak setia, menurut Cahyadi, sepanjang proses yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. “Namun jika kita punya bukti bahwa pasangan selingkuh, wajib diingatkan dan ditegur dengan cara yang baik, jangan dibiarkan karena itu pelanggaran,” tegasnya.
Khusus bagi yang rentan terserang cemburu, pahami bahwa pasutri memang harus mempunyai rasa cemburu, namun mestiproporsional. Rasulullah saw pun melarang cemburu yang berlebihan. Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, cukup bagimu Shafiyyah, dia itu begini dan begitu (pendek).” Rasulullah menjawab, “Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata, yang seandainya dicampur dengan air laut, niscaya akan dapat mencemarinya.” (HR Abu Dawud).
Kehidupan seks yang tak membahagiakan
Walau banyak yang lebih penting dari aktivitas seks dalam relasi pasutri, namun mengabaikannya bisa mengurangi kasih sayang. “Seks harus bisa dinikmati bersama oleh pasangan suami istri, maka perlu keterbukaan jika ada masalah dalam hal ini,” saran Cahyadi. Karena, lanjutnya, jika hasrat seksual tidak terpenuhi, akan memicu ketegangan jiwa. Dampaknya bisa luas, lebih emosional, bersifat labil, mudah tersinggung, sulit konsentrasi, dan yang lebih membahayakan lagi, jika tergoda untuk menyalurkan hasrat secara menyimpang.
Jangan Bertengkar
Ujung dari komunikasi yang sehat adalah sedikitnya perselisihan atau pertengkaran, ini yang harus dicapai agar pernikahan sehat. Seringnya konflik bukan saja menyakiti perasaan, tapi juga memperburuk hubungan. Diskusikan masalah yang timbul dengan terbuka, tanpa bertengkar atau menyulut konflik.
Mengumbar kemarahan dengan perang terbuka bisa memadamkan cinta. Sedangkan terbiasa menekan perasaan untuk menghindari perselisihan juga tidak sehat, sebab akan membuat cinta kasih hambar karena selalu tertekan. Carilah kesimbangan di antara keduanya, kapan sesuatu harus diungkapkan dan kapan harus dilupakan, bukan dipendam. Keberhasilan pasutri mengelola ego dan emosi menjadi cara efektif untuk menjaga komunikasi sehingga rumah tangga aman dari pertengkaran.
Meutia Geumala
Wawancara: Didi Muardi
Sumber: Majalah Ummi, Bahasan Utama 3 08-XXVIII Agustus 2016
Foto ilustrasi : Google
70 Persen Masalah Rumah Tangga Akibat Hal Ini - Jangan Sampai Tidak Tahu!!
4/
5
Oleh
Anonim