Ini Lho, Menghadiahkan Alfatihah'' Menurut 4 Madzhab, Jangan Kaget Kalau Imam Syafii Melarangnya Karena Tidak Akan Sampai Pahalannya??

Ini Lho, Menghadiahkan Alfatihah'' Menurut 4 Madzhab, Jangan Kaget Kalau Imam Syafii Melarangnya Karena Tidak Akan Sampai Pahalannya??

Baca Juga

Hukum Menghadiahkan al-Fatihah
Apa hukum menghadiahkan bacaan al-Fatihah kepada mayit? Apakah pahalanya sampai?






Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelumnya kita perlu memahami bahwa ditinjau dari bentuk pengorbanan hamba, ibadah dibagi menjadi 3,

1. Ibadah murni badaniyah, itulah semua ibadah yang modal utamanya gerakan fisik.
Seperti shalat, puasa, dzikir, adzan, membaca al-Quran, dst.

2. Ibadah murni maliyah. Semua ibadah yang pengorbanan utamanya harta.
Seperti zakat, infaq, sedekah, dst.

3. Ibadah badaniyah maliyah. Gabungan antara ibadah fisik dan harta sebagai pendukung utamanya. Seperti jihad, haji atau umrah.

Ulama sepakat bahwa semua ibadah yang bisa diwakilkan, seperti ibadah maliyah atau yang dominan maliyah, seperti sedekah, atau haji, atau ibadah yang ditegaskan bisa diwakilkan, seperti puasa, maka semua bisa dihadiahkan kepada mayit.

Imam Zakariya al-Anshari mengatakan,


وينفعه أي الميت من وارث وغيره صدقة ودعاء، بالإجماع وغيره


Sedekah atau doa baik dari ahli waris maupun yang lainnya, bisa bermanfaat bagi mayit dengan sepakat ulama. (Fathul Wahhab, 2/31).

Keterangan lain disampaikan Ibnu Qudamah,


أما الدعاء والاستغفار والصدقة وقضاء الدين وأداء الواجبات فلا نعلم فيه خلافاً إذا كانت الواجبات مما يدخله النيابة


Doa, istighfar, sedekah, melunasi utang, menunaikan kewajiban (yang belum terlaksana), bisa sampai kepada mayit. Kami tidak tahu adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, apabila kewajiban itu bisa diwakilkan. (as-Syarhul Kabir, 2/425).

Sementara itu, ulama berbeda pendapat untuk hukum mengirim pahala ibadah yang tidak bisa diwakilkan kepada mayit, seperti bacaan al-Quran. Kita akan sebutkan secara ringkas,

Pertama, madzhab hanafi

Ulama hanafiyah menegaskan bahwa mengirim pahala bacaan al-Quran kepada mayit hukum dibolehkan. Pahalanya sampai kepada mayit, dan bisa bermanfaat bagi mayit.

Imam Ibnu Abil Izz – ulama Hanafiyah – menuliskan,


إن الثواب حق العامل، فإذا وهبه لأخيه المسلم لم يمنع من ذلك، كما لم يمنع من هبة ماله له في حياته، وإبرائه له منه بعد وفاته. وقد نبه الشارع بوصول ثواب الصوم على وصول ثواب القراءة ونحوها من العبادات البدنية


Sesungguhnya pahala adalah hak orang yang beramal. Ketika dia hibahkan pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, tidak jadi masalah. Sebagaimana dia boleh menghibahkan hartanya kepada orang lain ketika masih hidup. Atau membebaskan tanggungan temannya muslim, yang telah meninggal.

Syariat telah menjelaskan pahala puasa bisa sampai kepada mayit, yang itu mengisyaratkan sampainya pahala bacaan al-Quran, atau ibadah badaniyah lainnya. (Syarh Aqidah Thahawiyah, 1/300).

Kedua, madzhab Malikiyah

Imam Malik menegaskan, bahwa menghadiahkan pahala amal kepada mayit hukumnya dilarang dan pahalanya tidak sampai, dan tidak bermanfaat bagi mayit. Sementara sebagian ulama malikiyah membolehkan dan pahalanya bisa bermanfaat bagi mayit.

Dalam Minah al-Jalil, al-Qarrafi membagi ibadah menjadi tiga,
Ibadah yang pahala dan manfaatnya dibatasi oleh Allah, hanya berlaku untuk pemiliknya. Dan Allah tidak menjadikannya bisa dipindahkan atau dihadiahkan kepada orang lain. Seperti iman, atau tauhid.
Ibadah yang disepakati ulama, pahalanya bisa dipindahkan dan dihadiahkan kepada orang lain, seperti ibadah maliyah.
Ibadah yang diperselisihkan ulama, apakah pahalanya bisa dihadiahkan kepada mayit ataukan tidak? Seperti bacaa al-Quran. Imam Malik dan Imam Syafii melarangnya. (Minan al-Jalil, 1/509).

Selanjutnya al-Qarrafi menyebutkan dirinya lebih menguatkan pendapat yang membolehkan. Beliau menyatakan,


فينبغي للإنسان أن لا يتركه، فلعل الحق هو الوصول، فإنه مغيب


Selayaknya orang tidak meninggalkannya. Bisa jadi yang benar, pahala itu sampai. Karena ini masalah ghaib. (Minan al-Jalil, 7/499).

Ada juga ulama malikiyah yang berpendapat bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada mayit. Hanya saja, ketika yang hidup membaca al-Quran di dekat mayit atau di kuburan, maka mayit mendapatkan pahala mendengarkan bacaan al-Quran. Namun pendapat ini ditolak al-Qarrafi karena mayit tidak bisa lagi beramal. Karena kesempatan beramal telah putus (Inqitha’ at-Taklif). (Minan al-Jalil, 1/510).
margin-bottom: 10px; padding: 0px;"> Ketiga, Pendapat Syafiiyah
Pendapat yang masyhur dari Imam as-Syafii bahwa beliau melarang menghadiahkan bacaan al-Quran kepada mayit dan itu tidak sampai.

An-Nawawi mengatakan,


وأما قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي، أنه لا يصل ثوابها إلى الميت، وقال بعض أصحابه: يصل ثوابها إلى الميت


Untuk bacaan al-Quran, pendapat yang masyhur dalam madzhab as-Syafii, kalau itu tidak sampai pahalanya pada mayit. Sementara sebagian ulama syafiiyah mengatakan, pahalanya sampai pada mayit. (Syarh Shahih Muslim, 1/90).
Salah satu ulama syafiiyah yang sangat tegas menyatakan kalau itu tidak sampai adalah al-Hafidz Ibnu Katsir, penulis kitab tafsir.

Ketika menafsirkan firman Allah di surat an-Najm,
justify;">

وَأَن�' لَي�'سَ لِلإن�'سَانِ إِلا مَا سَعَى


“Bahwa manusia tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari apa yang telah dia amalkan. ” (an-Najm : 39).
Kata Ibnu Katsir,


ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم


“Dari ayat ini, Imam as-Syafii – rahimahullah – serta ulama yang ikuti beliau menyimpulkan, kalau menghadiahkan pahala bacaan al-Quran tidak sampai pada mayit. Karena itu bukan sisi dari amal mayit maupun hasil kerja mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/465).

Selanjutnya, Ibnu Katsir menyebutkan beberapa dalil serta alasan yang mendukung pendapatnya.
Keempat, Pendapat Hambali

Dalam madzhab hambali, ada dua pendapat. Sebagian ulama hambali membolehkan serta sebagian melarang, seperti yanng terjadi pada madzhab Malikiyah. Ada 3 pendapat ulama madzhab hambali dalam hal ini,
Bisa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran pada mayit serta itu bisa bermanfaat untuk mayit. Ini pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.

Tak bisa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit, meskipun bila ada orang yang kirim pahala, itu dapat sampai serta bermanfaat untuk mayit. Al-Buhuti menyebut, ini pendapat mayoritas hambali.
Pahala tetap jadi milik pembaca (yang hidup), cuma saja, rahmat bisa sampai ke mayit.

Al-Buhuti mengatakan,


وقال الأكثر لا يصل إلى الميت ثواب القراءة وإن ذلك لفاعله


Mayoritas hambali mengatakan, pahala bacaan al-Quran tidak sampai pada mayit, serta itu punya orang yang beramal. (Kasyaf al-Qana’, 2/147).

Sementara Ibnu Qudamah mengatakan,


وأي قربة فعلها وجعل ثوابها للميت المسلم نفعه ذلك


Ibadah apapun yang dikerjakan serta pahalanya dihadiahkan untuk mayit yang muslim, jadi dia dapat mendapatkan manfaatnya. (as-Syarhul Kabir, 2/425).

Ibnu Qudamah juga mengatakan pendapat ketiga dalam madzhab hambali,


وقال بعضهم إذا قرئ القرآن عند الميت أو اهدي إليه ثوابه كان الثواب لقارئه ويكون الميت كأنه حاضرها فترجى له الرحمة


Ada sebagian ulama hambali mengatakan, bila seseorang membaca al-Quran di dekat mayit, atau menghadiahkan pahala untuknya, jadi pahala tetap jadi milik yang membaca, sesaat posisi mayit seperti orang yang ada di tempat bacaan al-Quran. Sehingga diharapkan dia mendapat rahmat. (as-Syarhul Kabir, 2/426).
Menimbang Pendapat

Seperti yang disampaikan al-Qarrafi, kalau kajian masalah ini termasuk pembahasan masalah ghaib. Tidak ada yang tahu sampainya pahala itu pada mayit, selain Allah. Kecuali untuk amal yang ditegaskan dalam dalil, kalau itu dapat sampai pada mayit, seperti doa, permohonan ampunan, sedekah, bayar utang zakat, atau utang sesama mannusia, haji, dan puasa.

Sementara bacaan al-Quran, tak ada dalil tegas tentang itu. Ulama yang membolehkan mengirimkan pahala bacaan al-Quran pada mayit mengqiyaskan (analogi) bacaan al-Quran dengan puasa serta haji. Sehingga kita berharap pahala itu sampai, sebagaimana pahala puasa dapat sampai.

Sementara ulama yang melarang beralasan, itu ghaib serta tak ada dalil. Bila itu bisa sampai, pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabat bakal sibuk mengirim pahala bacaan al-Quran untuk keluaganya yang telah wafat dunia.
Beberapa keluarga tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Khadijah, Hamzah, Zainab bintu Khuzaimah (istri beliau), semua putra beliau, Qosim, Ibrahim, Ruqayyah, Ummu Kultsum, serta Zainab, mereka wafat sebelum wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi tak dijumpai kisah, beliau menghadiahkan pahala bacaan al-Quran untuk mereka.

Saran Melihat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masalah menghadiahkan pahala amal tubuhiyah pada mayit, kita dapat menegaskan kalau masalah ini termasuk masalah ikhtilaf ijtihadiyah fiqhiyah, serta bukan masalah aqidah manhajiyah (prinsip beragama). Sehingga berlaku aturan, siapa yang ijtihadnya benar jadi dia mendapatkan dua pahala serta siapa yang ijtihadnya salah, mendapat satu pahala.

Dari ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda :


إِذَا حَكَمَ ال�'حَاكِمُ فَاج�'تَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَج�'رَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاج�'تَهَدَ فَأَخ�'طَأَ فَلَهُ أَج�'رٌ وَاحِدٌ.


“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad serta benar, baginya dua pahala. Serta jika ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad serta salah, baginya satu pahala”. (HR. Bukhari 7352 & Muslim 4584)
Kaitannya dengan ini, ada satu sikap yang butuh kita bangun, saat kita bersinggungan dengan masalah yang termasuk dalam ranah ijtihadiyah fiqhiyah, yakni mengedepankan sikap dewasa, toleransi serta tak menjatuhkan vonis kesesatan. Baik yang berpendapat bisa maupun yang berpendapat melarang.

Masing-masing bisa menyampaikan pendapatnya berdasarkan alasan serta dalil yang mendukungnya. Sekalian mengkritik pendapat yang tidak sesuai dengannya. Sampai batas ini dibolehkan.

Serta butuh dibedakan pada mengkritik dengan menilai sesat orang yang lain pendapat. Dalam masalah ijtihadiyah, mengkritik atau mengkritisi pendapat orang lain yang beda, selama dalam koridor ilmiyah, diperbolehkan. Kita dapat lihat bagaiamana ulama yang menyampaikan pendapatnya, beliau sekaligus mengkritik pendapat lain. Tetapi tidak sampai menyesatkan tokoh yang pendapatnya berbeda dengannya.

Terkadang, orang yang kurang dewasa, tak siap dikritik, menganggap kalau kritik pendapatnya sama dengan menilai sesat dirinya. Serta ini tak benar.
Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah. com)

Related Posts

Ini Lho, Menghadiahkan Alfatihah'' Menurut 4 Madzhab, Jangan Kaget Kalau Imam Syafii Melarangnya Karena Tidak Akan Sampai Pahalannya??
4/ 5
Oleh