Baca Juga
Patriot NKRI - Di pagi hari yang dingin, bersama 18 orang kawan-kawannya mereka mengendap-endap di suatu bukit hijau yang mengapit jalan setapak, rute yang dikatakan telik sandi kesatuannya, akan dilewati patroli militer Belanda. Tak ada senjata api kecuali stengun yang dipegang Letnan Anwar (itupun pelurunya terbatas). Semuanya masing-masing hanya memegang sebilah bambu runcing yang dibuat mendadak di hutan Caringin (terletak di tenggara Cianjur) malam harinya. Satu menit, lima menit, seperapat jam, setengah jam waktu terus berlalu dalam sunyi dan tarikan nafas mereka yang tertahan. Suasana tegang mencekam. Itulah situasi yang dituturkan Sjafta (90 th) yang masih ingat kejadian 68 tahun lalu itu.
Baca Juga: Misteri Dentasemen Harimau: Rajanya Pasukan Khusus Indonesia Paling MISTERIUS
Begitu waktu satu setengah jam berlalu, dari kejauhan tiba-tiba terdengar suara orang-orang berbicara dalam bahasa Belanda. Rupanya patroli yang mereka tunggu sudah mulai datang. Jumlahnya sekitar 9 prajurit yang sebagian besar bule totok dengan seragam hijau kekuning-kuningan dan senjata api di tangan. ” Mereka berjalan tak teratur, dan dalam posisi lengah…”kata Sjafta. Begitu rombongan tersebut ada di bawah mereka, Letnan Anwar meneriakan aba-aba untuk menyerbu. ” Seraaaaaaaaaaaaaaaangggg!!!”
Belasan anak muda pun berloncatan. Teriakan beringas bersanding dengan jeritan panik para serdadu yang usianya rata-rata sama dengan para penyerang. Bisa dikatakan, penghadangan itu sukses besar: sembilan serdadu musuh ditaklukan dan semua senjatanya berhasil dirampas oleh pasukan Letnan Anwar.
Di tengah minimnya senjata (sepuluh berbanding satu), kalangan petarung republik memilih bambu runcing sebagai alat untuk menghadapi musuh mereka. Sebagai senjata, bambu runcing mulai dikembangkan semasa pendudukan Jepang, yang saat itu dikenal dengan sebutan takeyari. Sejatinya bilah bambu ini digunakan untuk menghadang pasukan payung musuh yang diterjunkan dari udara. Tentara Jepang juga melatih laki-laki dan perempuan cara menggunakan takeyari, yang kalau digunakan biasanya dibarengi teriakan keras dan pekik kemarahan. ” Laiknya seorang prajurit tengah menggunakan senapan bersangkur,” tulis R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali!
Baca Juga: Wow...! Begini Aksi Raider TNI AD Yang Bikin KAGUM dan TAKJUB. Ranger AS Langsung Minta BERGURU..!
Semasa dididik menjadi perwira Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor pada 1944, almarhum Moestopo pernah menjadikan bambu runcing sebagai tema “disertasi-nya”. Di hadapan para perwira tinggi Jepang, ia berhasil mempertahankan karya tulisnya yang berjudul ‘Penggunaan Bambu Runcing yang Pucuknya Diberi Tahi Kuda Untuk People Defence dan Attack serta Biological War Fare’. Tidak hanya lulus dan menjadi yang terbaik, karyanya ini malah mendapatkan pujian setinggi langit dari militer Jepang saat itu.
Dan memang banyak cara dilakukan oleh para petarung republik untuk menjadikan bambu runcing miliknya “bukan hanya sekadar bambu”. Dalam bukunya bejudul “Guruku Orang-Orang Pesantren”, Syaifuddin Zuhri menyebut figur Kiyai Haji Subkhi, seorang ulama besar di Parakan, Temanggung yang pada masa revolusi kemerdekaan dijuluki sebagai Kyai Bambu Runcing. Julukan itu tercipta karena Kiyai Subkhi menciptakan sejenis bambu runcing yang disepuh doa untuk nantinya digunakan para petarung republik di medan laga.
Uniknya, para petarung yang datang ke Parakan bukan saja berasal dari kalangan santri semata. Para lasykar yang tergabung dalam barisan kaum kiri pun seperti Barisan Banteng di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman (tokoh PKI) dan Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di bawah pimpinan Krissubbanu juga mendatangi Kiyai Subkhi sekadar untuk mendapatkan barokahnya!
Baca Juga: Kisah Penyergapan Dukun PKI: Ngaku KEBAL Senjata...!
Selagi menjadi Panglima Divisi III TRI untuk wilayah Priangan, almarhum Jenderal A.H. Nasution pernah memiliki kisah lucu terkait bambu runcing ini. Pada April 1946, ia berkesempatan menemani Kepala Staf Umum Markas Besar Tentara (MBT) Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo melakukan inspeksi ke wilayah Tanjungsari, Sumedang.
Begitu rombongan Pak Oerip sampai di lapangan, serentak komandan pasukan berteriak: “ Hormat senjataaaaa!”. Namun bukan bedil yang diangkat melainkan bambu runcing. Seolah tidak ada masalah, Pak Oerip membalas sikap hormat itu dengan khidmat layaknya seorang komandan tertinggi terhadap pasukannya. Namun sambil berjalan memeriksa barisan pasukan bambu runcing tersebut, Pak Oerip masih sempat berbisik dalam nada gurauan kepada Pak Nas: “ Nas, kamu suruh aku periksa pagar bambu ya?”
Sumber: arsipindonesia.com
Saat Bambu Runcing Berbalur Kotoran Kuda Berbicara...
4/
5
Oleh
Anonim