Baca Juga
Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Sudah sering dibahas tentang pembagian waris, dalam hal ini pembagian harta dari mereka yang telah wafat. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana dengan hutang-hutang mereka yang telah wafat, siapa yang mewarisinya ? Apakah sama dengan pembagian harta? Terima kasih
Jawaban:
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh
Yang harus diketahui lebih awal ialah bahwa hutang mayit itu bukan untuk diwarisi, akan tetapi hutang mayit itu dilunasi. Ya dilunasi dari harta mayit yang ditinggalkan. Dan itu bagian dari kewajiban yang harus dilaksakan sebelum pembagian harta waris.
Jadi sebelum pembagian harta waris itu dimulai, harta mayit sudah steril dari sangkutan dan kewajiban yang berkaitan dengan harta, salah satunya ialah hutang. Maka, keluarkan dulu hutangnya, barulah mulai pembagian harta warisan.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ …
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya …” (QS. An-Nisa’: 11)
Dalam pembahasan waris di surat An-Nisa’ ayat 11, 12, 13 dan juga 176, di penghujung ayat tersebut, Allah swt selalu mengatakan bahwa pembagian waris itu setelah wasiat dan hutang dikeluarkan dari harta si mayit.
Jadi memang ada kewajiban mengeluarkan itu dulu sebelum dibagikan waris, sehinggga ketika waris dibagikan, harta sudah steril dari semua sangkutan.
Sebelum Pembagian Waris
Kewajiban yang harus dikeluarkan dari harta peninggalan mayit sebelum dibagikannya waris untuk para ahli warisnya ada 3 masalah, yaitu :
1. Pengurusan Jenazah
2. Hutang
3. Wasiat
(1) Pengurusan Jenazah
Ketika seseorang meninggal, yang harus dilakukan oleh ahli waris bukanlah langsung membagikan harta warisan, akan tetapi ia mengeluarkan dari harta si mayit utuk kepengurusan jenazahnya.
Kalaupun nanti ada salah satu anak atau ahli waris yang denagn rela mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepengurusan jenazah, itu tidak mengapa. Initinya bahwa kepengurusan jenazah itu diambil dari harta mayit sendiri.
(2) Hutang
Tentu yang dibicarakan dalam hal ini adalah hutang yang berkaitan dengan harta si mayit, baik itu hutang kepada Allah swt atau juga hutang kepada manusia.
Hutang kepada Allah swt adalah ibadah yang tertunda dilaksanakan karena maut mendahuluinya. Misalnya, zakat, atau nadzar sedekah yang belum terlaksana, hutang membayar Kafarat, atau juga fidyah.
Dalam madzhab Al-Syafiiyah, jika si mayit mempunyai tanggungan hutang kepada Allah dan juga kepada manusia, maka yang harus didahulukan adalah hutang kepada Allah dulu. Berbeda dengan kalangan Al-Hanafiyah yang mendahului hutang kepada manusia dibanding hutang kepada Allah swt.
Bagaimana Jika Hutangnya Melebihi Nilai Harta yang Ditinggalkan?
Jika hutang si mayit ternyata melebihi nilai harta yang ia tinggalkan, jadi hartanya tidak mencukupi untuk menutupi hutangnya sendiri. Maka para pemberi hutang (piutang) akan mendapatkan bayaran sesuai persentasi hutang si mayit kepadanya dari jumlah keseluruhan hutang.
Disebutkan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah (3/20), dalam perkara ini; yaitu jika hutang si mayit melebih ulama memberikan solusi seperti itu. Aplikasinya sebagai berikut:
Misalnya si mayit mempunyai hutang kepada 3 orang. Kepada orang A, mayit berhutang sebanyak 500 Juta. Dan kepada orang B, mayit berhutang 250 juta. Lalu kepada si C, mayit berhutang 250 juta juga. Jadi jumlah hutang mayit itu adalah 1 Milyar, sedangkan mayit hanya meninggalkan harta sebesar 500 juta.
Jika dihitung, dari keseluruhan hutang (1 Milyar), 500 juta adalah 50% dari 1 Milyar. Dan 250 juta adalah 25% dari 1 Milyar. Maka bagi piutang A (pemberi hutang 500 juta) ia mendapatkan 50% dari seluruh harta mayit (500 juta), yaitu 250 Juta.
Dan piutang B serta C (yang memberi hutang 250) ia mendapat masing-masing 25% dari seluruh harta mayit (500 juta), yaitu masing-masing 125 juta.
Dan tentu akan jauh lebih baik, jika ada salah satu dari ahli waris yang memang mempunyai harat berlebih, untuk melunasi hutang tersebut atau menjaminya. Dan itu sangat terpuji.
(3) Wasiat
Setelah pengurusan jenazah, hutang, kewajiban selanjutnya yang harus dikeluarkan dari harta mayit yang ditinggalkan ialah wasiat. Denan syarat bahwa wasiatnya tidak lebih dari 1/3 dari jumlah keseluruhan harta si mayit.
Dalam ayat didahulukan penyebutannya wasiat, kenapa hutang yang didahulukan?
Ya. Walaupun penyebutannya wasiat yang terlebih dahulu, akan tetapi para ulama sudah berijma’ bahwa yang mesti didahulukan adalah hutang. Dengan alasan bahwa Nabi mengerjakan itu, dan bukan wasiat terlebih dahulu.
Diriwayatkan dari sayyidina ‘Ali radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنَّ الدَّيْنَ قَبْل الْوَصِيَّةِ
“sesungguhnya Nabi saw memulai (membayarkan) hutang sebelum menunaikan wasiat”.
Adapaun penyebutan wasiat yang lebih dahulu dari pada hutang dalam ayat tersebut, tidak berarti keharusan menunaikannya lebih dahulu. Ulama menyebutkan beberapa hikmah penyebutan wasiat yang lebih dulu dari pada hutang, diantaranya ialah:
Karena memang wasiat itu terjadi karena dorongan qurbah (ibadah) dan bukti iman serta motivasi terjaganya hubungan antara keluarga yang ditinggalkan. Berbeda dengan hutang yang –terkadang- dilakukan oleh mayit karena sebab kelalaiannya.
Jadi penempatan wasiat lebih dulu dalam ayat karena wasiat lebih afdhol dalam syariah dibanding hutang.
Wallahu a’lam bis-shawab, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sumber: rumahfiqih.com
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Sudah sering dibahas tentang pembagian waris, dalam hal ini pembagian harta dari mereka yang telah wafat. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana dengan hutang-hutang mereka yang telah wafat, siapa yang mewarisinya ? Apakah sama dengan pembagian harta? Terima kasih
Jawaban:
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh
Yang harus diketahui lebih awal ialah bahwa hutang mayit itu bukan untuk diwarisi, akan tetapi hutang mayit itu dilunasi. Ya dilunasi dari harta mayit yang ditinggalkan. Dan itu bagian dari kewajiban yang harus dilaksakan sebelum pembagian harta waris.
Jadi sebelum pembagian harta waris itu dimulai, harta mayit sudah steril dari sangkutan dan kewajiban yang berkaitan dengan harta, salah satunya ialah hutang. Maka, keluarkan dulu hutangnya, barulah mulai pembagian harta warisan.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ …
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya …” (QS. An-Nisa’: 11)
Dalam pembahasan waris di surat An-Nisa’ ayat 11, 12, 13 dan juga 176, di penghujung ayat tersebut, Allah swt selalu mengatakan bahwa pembagian waris itu setelah wasiat dan hutang dikeluarkan dari harta si mayit.
Jadi memang ada kewajiban mengeluarkan itu dulu sebelum dibagikan waris, sehinggga ketika waris dibagikan, harta sudah steril dari semua sangkutan.
Sebelum Pembagian Waris
Kewajiban yang harus dikeluarkan dari harta peninggalan mayit sebelum dibagikannya waris untuk para ahli warisnya ada 3 masalah, yaitu :
1. Pengurusan Jenazah
2. Hutang
3. Wasiat
(1) Pengurusan Jenazah
Ketika seseorang meninggal, yang harus dilakukan oleh ahli waris bukanlah langsung membagikan harta warisan, akan tetapi ia mengeluarkan dari harta si mayit utuk kepengurusan jenazahnya.
Kalaupun nanti ada salah satu anak atau ahli waris yang denagn rela mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepengurusan jenazah, itu tidak mengapa. Initinya bahwa kepengurusan jenazah itu diambil dari harta mayit sendiri.
(2) Hutang
Tentu yang dibicarakan dalam hal ini adalah hutang yang berkaitan dengan harta si mayit, baik itu hutang kepada Allah swt atau juga hutang kepada manusia.
Hutang kepada Allah swt adalah ibadah yang tertunda dilaksanakan karena maut mendahuluinya. Misalnya, zakat, atau nadzar sedekah yang belum terlaksana, hutang membayar Kafarat, atau juga fidyah.
Dalam madzhab Al-Syafiiyah, jika si mayit mempunyai tanggungan hutang kepada Allah dan juga kepada manusia, maka yang harus didahulukan adalah hutang kepada Allah dulu. Berbeda dengan kalangan Al-Hanafiyah yang mendahului hutang kepada manusia dibanding hutang kepada Allah swt.
Bagaimana Jika Hutangnya Melebihi Nilai Harta yang Ditinggalkan?
Jika hutang si mayit ternyata melebihi nilai harta yang ia tinggalkan, jadi hartanya tidak mencukupi untuk menutupi hutangnya sendiri. Maka para pemberi hutang (piutang) akan mendapatkan bayaran sesuai persentasi hutang si mayit kepadanya dari jumlah keseluruhan hutang.
Disebutkan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah (3/20), dalam perkara ini; yaitu jika hutang si mayit melebih ulama memberikan solusi seperti itu. Aplikasinya sebagai berikut:
Misalnya si mayit mempunyai hutang kepada 3 orang. Kepada orang A, mayit berhutang sebanyak 500 Juta. Dan kepada orang B, mayit berhutang 250 juta. Lalu kepada si C, mayit berhutang 250 juta juga. Jadi jumlah hutang mayit itu adalah 1 Milyar, sedangkan mayit hanya meninggalkan harta sebesar 500 juta.
Jika dihitung, dari keseluruhan hutang (1 Milyar), 500 juta adalah 50% dari 1 Milyar. Dan 250 juta adalah 25% dari 1 Milyar. Maka bagi piutang A (pemberi hutang 500 juta) ia mendapatkan 50% dari seluruh harta mayit (500 juta), yaitu 250 Juta.
Dan piutang B serta C (yang memberi hutang 250) ia mendapat masing-masing 25% dari seluruh harta mayit (500 juta), yaitu masing-masing 125 juta.
Dan tentu akan jauh lebih baik, jika ada salah satu dari ahli waris yang memang mempunyai harat berlebih, untuk melunasi hutang tersebut atau menjaminya. Dan itu sangat terpuji.
(3) Wasiat
Setelah pengurusan jenazah, hutang, kewajiban selanjutnya yang harus dikeluarkan dari harta mayit yang ditinggalkan ialah wasiat. Denan syarat bahwa wasiatnya tidak lebih dari 1/3 dari jumlah keseluruhan harta si mayit.
Dalam ayat didahulukan penyebutannya wasiat, kenapa hutang yang didahulukan?
Ya. Walaupun penyebutannya wasiat yang terlebih dahulu, akan tetapi para ulama sudah berijma’ bahwa yang mesti didahulukan adalah hutang. Dengan alasan bahwa Nabi mengerjakan itu, dan bukan wasiat terlebih dahulu.
Diriwayatkan dari sayyidina ‘Ali radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنَّ الدَّيْنَ قَبْل الْوَصِيَّةِ
“sesungguhnya Nabi saw memulai (membayarkan) hutang sebelum menunaikan wasiat”.
Adapaun penyebutan wasiat yang lebih dahulu dari pada hutang dalam ayat tersebut, tidak berarti keharusan menunaikannya lebih dahulu. Ulama menyebutkan beberapa hikmah penyebutan wasiat yang lebih dulu dari pada hutang, diantaranya ialah:
Karena memang wasiat itu terjadi karena dorongan qurbah (ibadah) dan bukti iman serta motivasi terjaganya hubungan antara keluarga yang ditinggalkan. Berbeda dengan hutang yang –terkadang- dilakukan oleh mayit karena sebab kelalaiannya.
Jadi penempatan wasiat lebih dulu dalam ayat karena wasiat lebih afdhol dalam syariah dibanding hutang.
Wallahu a’lam bis-shawab, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sumber: rumahfiqih.com
Ingatlah !! Setiap Manusia Yang Meninggalkan Hutang, Siapa yang Mewarisi Hutang Jika Orang Itu Mati Meninggalkan Hutang?
4/
5
Oleh
Anonim